19 Januari 2013

Cerpen Fantasy Fiesta 2011

❤ Good Morning ◕‿◕ Afternoon ❤ Evening ღ Night ◕‿◕


Mereka Tidak Tahu
by : M.Yoshepine

Kuakui Athalone memang kota yang indah. Nyaris sempurna, begitulah. Sayang selalu ada noda yang mengotori setiap kesucian. Tak terkecuali kemurnian kota ini, cemar oleh cela yang tak sedikit. Dan aku sadar betul, aku bagian dari bercak itu. Flek hina yang mencoreng wajah Athalone.
Nathaniel, biasa dipanggil Nathan oleh orang-orang di sekitarnya. Tebakanku tepat saat menerka umur anak ini. Tujuh belas tahun empat bulan, duduk di bangku sekolah menengah, dan sedang giat-giatnya menimba ilmu. Dia tidak bodoh, cukup cerdas untuk bocah seumurnya. Entah apa yang membuat ia menanamkan bagian jiwanya padaku ketika itu.
Sesampainya ia di rumah, dilihatnya seorang gadis berambut ikal pendek sedang tertawa gembira sambil berputar-putar mengenakan gaun putih yang belum sempurna seutuhnya. “Lizbeth, coba Mama lihat sebentar. Sepertinya ada bagian yang terlalu besar. Mama tandai dulu, Sayang.”
”Iya, Ma,” jawab Lizbeth ringan, kemudian mendekatkan diri pada ibunya.
Nathan menyipitkan mata ke arah mereka, mengirimkan gelombang kebencian pada keduanya. Anak berpakaian pesta itu kemudian menemukan manik matanya dan tersenyum lebar. “Kak Nathan, tidak biasanya pulang cepat?” ucapnya lembut, masih dengan wajah sumringah.
Sorot mata Nathan dingin menatap perempuan yang tak lain adalah adiknya itu, teguran barusan tidak digubrisnya sama sekali. Aku tak tahu pasti apa yang Nathan inginkan, namun aku yakin pikiran jahat tengah berputar dalam benaknya saat ini. Ia menggerakkan pandangan matanya ke punggung sang ibunda, menatap dalam dan tak juga ia lepaskan.
Tiba-tiba wanita yang tengah membenahi bagian cacat pada gaun itu menusukkan jarum ke tubuh Lizbeth. Mustahil seorang ibu demikian ceroboh apalagi sengaja melakukannya. Pasti Nathan yang membuat tangan perempuan itu bergerak di luar kendali. Luka yang ditimbulkan oleh jarum itu tampaknya cukup dalam, sebab tak mungkin gadis itu begitu cengeng sampai refleks melompat dan  berkaca-kaca hanya karena tertusuk jarum kecil di permukaan kulitnya.
“Ma, sakit…,” rengek Lizbeth. Ada setitik merah pada pinggangnya. Darah.
“Ya Tuhan! Maafkan Mama, Lizbeth. Mama tidak sengaja,” seru wanita itu panik. Cepat-cepat ia membungkuk, mencoba melepas jarum dari pakaian itu.
Perlahan namun pasti Nathan mengangkat kedua ujung bibirnya, berjalan menjauhi mereka. Kini aku sadar mengapa ia rela menukar apapun untuk kekuatan itu. Ia tidak memerlukan harta, takhta, atau apapun. Ia hanya butuh aku demi memenangkan perhatian orang tuanya.
Baru beberapa menit Nathan memejamkan mata seraya berbaring di atas tempat tidur, bunyi ketukan di pintu kamarnya memaksa ia membuka kelopak mata. “Kak, main yuk!” kata suara di balik pintu, masih mengetuki papan kayu tebal yang membatasi ruang antara mereka. Lizbeth.
“Malas!” jawab Nathan kasar dari dalam kamar.
“Ayolah, aku mohon. Aku kesepian,” rajuk adiknya lagi, berusaha mengusir rasa malas sang kakak yang sesungguhnya hanya sebatas ucapan.
“Peduli setan! Main dengan Mama saja!” bentaknya dengan nada tinggi.
“Mama pergi ke pasar, Kak….” Nada bicara Lizbeth terdengar memelas.
Pergi? Ini kesempatan emas, bisiknya perlahan di dalam batin. Kemudian ia bangkit berdiri dari pembaringannya dan berjalan ke arah pintu. “Mau main apa?” tanyanya datar.
Mereka hanya bermain lempar tangkap bola di sebidang lahan kosong dekat rumah. Sama sekali tidak menyenangkan, menurutku. Nathan menganggap ini membosankan, namun Lizbeth tak henti-hentinya tertawa, seakan ini memang permainan favoritnya.
Muak dengan bibir Lizbeth yang terus menerus mencerminkan kebahagiaan, Nathan mengedikkan kepalanya dan membuat bola tenis bertuliskan inisial nama Lizbeth yang dilempar ke arahnya berbelok dan memecahkan kaca jendela rumah seorang tetangga.
“Yah… tamat.” Nathan merendahkan nada suaranya. Masalah. Itu yang sejak tadi ia tunggu.
“Gawat. Bagaimana ini, Kak?” tanya gadis itu panik.
“Kau ambil sendiri. Aku mau belajar.” Besok hari Sabtu. Sebuah kobohongan besar bila ia mengatakan hendak menelaah isi buku pelajaran.
Lizbeth mulai menangis, mengemis belas kasihan kakaknya. Nathan memandang adiknya dengan tatapan jijik kemudian melangkah pergi, membiarkannya tenggelam dalam isak sendirian. Tak sedikitpun hatinya tergerak untuk menolong Lizbeth. Agaknya kegelapan telah melebur dengan batinnya, memangkas nurani sedikit demi sedikit.
Seperti yang telah kuduga, Nathan tidak benar-benar meninggalkan Lizbeth. Malahan ia mengikuti secara diam-diam ke mana adiknya itu pergi. Mustahil Lizbeth memilih pulang. Tak ada yang dapat diharapkannya. Kemungkinan besar ia akan mencari bantuan lain karena sang kakak tidak peduli padanya. Ia berjalan perlahan ke sebuah pohon besar, menemui seorang anak laki-laki yang tengah melamun di bawah rindangnya tanaman itu.
“Ada apa, Lizbeth? Mengapa menangis?” tanya si lelaki yang parasnya sedikit lebih tua dari Lizbeth, memecah lamunannya sendiri.
“Tidak. Hanya ada sedikit masalah,” jawab Lizbeth lesu. Kemudian ia meletakkan tubuhnya di sebelah laki-laki muda itu.
“Katakan saja. Mungkin aku bisa bantu.” Dari intonasi perhatiannya aku bisa tahu mereka berteman baik. Persahabatan mereka terlihat tulus. Terlalu tulus untuk sebuah hubungan pria dan wanita.
“Richard… sebenarnya aku… tidak sengaja memecahkan kaca jendela rumah Pak Gilbert,” ucap Lizbeth terbata-bata. “Aku takut.”
Setelahnya Lizbeth menceritakan kisah itu dari awal. Bagaimana ia dan kakaknya bermain dengan penuh suka cita, bagaimana bola itu secara ajaib berbelok dan membuat masalah, bagaimana Nathan menolak untuk menolongnya, serta perasaan takut yang berkecamuk dalam hatinya.
Richard tersenyum sesaat lalu menghapus air mata yang menggenang di pelupuk mata Lizbeth. Sontak Nathan yang sedari tadi menyaksikan pembicaraan mereka mengepalkan tangannya dan menggeram penuh amarah.
Nathan terus mengamati mereka. Hanya dengan sebuah tatapan benci, salah satu dahan pohon yang berada tepat di atas kepala sang adik sengaja dipatahkannya. Lizbeth bisa saja terbunuh bila Richard tidak mendorong dan menyelamatkannya dari maut. Sekali lagi, Nathan mengeraskan rahang, menatap lelaki di samping adiknya dengan mimik keji.
“Terima kasih,” kata Lizbeth dengan kelopak mata terbuka lebar, masih tak percaya nyawanya hampir melayang. Untuk beberapa detik mereka saling bertatapan bak putri raja yang baru diselamatkan pangerannya dari naga api.
Napas Richard terdengar berat, mewarnai keheningan yang tercipta di antara mereka. “Ya… sama-sama,” balasnya datar. “Aku sangat takut tadi.”
“Aku juga,” ucap Lizbeth sambil mengelus dada. Senyum mulai merekah di wajahnya. Ia tertawa kecil, kemudian berkata, “Kamu cocok jadi pahlawan. Pembela kebenaran yang melindungi kota ini. Pasti keren!”
Bibir Richard beku, tak mampu menyuarakan apapun.
Kau pikir siapa dirimu? Jangan halangi aku bila kau tak ingin kehilangan seluruh hidupmu, desis Nathan pada dirinya sendiri.
“Jadi… bagaimana bola itu? Mau kuambilkan?” tanya sang pangeran kepada tuan putri. Mata pangeran itu berbinar, menjanjikan mentari dalam gulita wanitanya.
“Jangan! Pak Gilbert orang yang kejam. Aku tidak mau kamu terluka,” jawab Lizbeth cepat. “Besok aku ambil sendiri. Aku bilang pada orang tuaku dulu nanti malam.”
***
Segera setelah Lizbeth pergi, Richard bangkit dan berjalan ke arah lapangan kosong itu. Ia tidak menghiraukan peringatan Lizbeth sama sekali. Hari mulai gelap, jingga menguasai cakrawala, melengserkan takhta sang biru. Perlahan Richard mengetuk pintu rumah yang jendelanya berlubang dan masuk saat sang pemilik mempersilahkannya. Nathan mengikutinya, mencoba mendengar isi percakapan mereka.
“Benar ini milikmu? Di bola ini tertulis huruf E, bukankah namamu Richard?” tanya seorang dewasa yang aku yakin bernama Gilbert.
“E… Evander. Itu nama tengahku.” Hanya dengan mendengar nada bicara tanpa melihat ekspresinya pun aku tahu ia berbohong. E untuk Elizabeth, tentu saja.
Terdengar bunyi telapak tangan yang memukul sesuatu diikuti dengan hujatan kata-kata kasar. Entah apa yang mereka lakukan di dalam sana. Kemudian sebuah bola melompat keluar dari lubang di kaca yang sama dengan tempatnya masuk beberapa jam lalu, mendarat dan menghilang dalam barisan ilalang tinggi di pinggir lahan.
Gilbert yang disebut Lizbeth kejam ternyata lebih jahanam dari yang kubayangkan. Ia menyeret Richard menuju rumahnya, menerobos langit kelam yang disinari cahaya redup. Berniat meminta uang ganti rugi, kurasa. Nathan melihat semua itu dalam seringai yang tak terdefinisikan jahatnya.
Cukup lama Nathan mencari bola di antara semak lapangan hijau yang kini berubah kelabu di bawah naungan malam. Mungkin terlalu lama sampai ketika ia telah menemukan apa yang ia cari dan hendak menghanguskannya, suara seorang laki-laki terdengar dari balik punggung.
Richard. Siapa lagi?
“Jadi kamu sudah menemukannya?” Seketika Nathan berbalik dan mendapati lelaki itu berdiri tegak sekitar lima meter di hadapannya. Ujung bibir Richard berdarah, mungkin Gilbert menamparnya. “Tolong kembalikan bola itu pada Lizbeth. Katakan saja Pak Gilbert yang memberikannya padamu.”
“Cukup. Aku belum pernah bertemu dengan orang yang lebih menggelikan darimu. Kau ingin sok pahlawan? Atau sok malaikat pelindung?” tanya Nathan dengan nada tinggi.
“Bukan begitu, aku hanya––”
Belum sempat Richard menyelesaikan kalimatnya, Nathan menyela, “Berikan sendiri padanya!” Ia melempar bola yang sejak tadi digenggamnya tepat ke tengah dada Richard. Lajunya terlalu kencang hingga Richard tak mampu menangkapnya dan membiarkan dirinya jatuh ke tanah akibat hantaman benda itu.
“Kamu bukan Nathan yang aku kenal,” katanya sambil meringis, menahan sakit yang pasti merajai seluruh tubuh. Ia terduduk di rerumputan, menatap wajah Nathan dengan pandangan aneh.
Nathan kembali tersenyum dan meninggalkan Richard bersama perihnya di tengah gelap malam. Semenjak kejadian itu Nathan sering mempergunakanku untuk mencelakai Lizbeth. Semakin hari semakin jahat. Namun, ada atau tidak ada Richard, Lizbeth selalu lolos dari bahaya yang ia ciptakan. Dan itu membuat kebencian Nathan pada adiknya kian bertumpuk.
Aku tidak mengerti bagaimana Nathan bisa kehilangan jiwa persaudarannya dengan Lizbeth. Adiknya itu tidak pernah berbuat iseng atau kurang ajar, ia menyayangi kakaknya dan aku yakin itu. Hari ini Nathan berniat untuk menyelesaikan semuanya. Segala yang telah ia mulai sejak terikat denganku.
“Kakakmu itu aneh,” ujar Richard di bawah pohon yang sama dengan waktu itu. Lizbeth duduk di sampingnya, mendengar tiap kata yang ia lafalkan, namun tetap memilih diam.
Mendengar kalimat itu, Nathan yang sejak beberapa menit lalu memang sedang mencari Lizbeth mempercepat langkahnya. Richard memandangnya heran dan menggenggam tangan Lizbeth kuat-kuat ketika Nathan berdiri tepat di depan wajah mereka berdua.
“Ikut aku,” ucap Nathan seraya menarik bahu Lizbeth, memaksanya berdiri. Tanpa diperintahkan Richard pun turut berdiri. Nathan yang mulai membenci Richard karena terlalu sering ikut campur menepis bahu pemuda itu dan membuatnya terhempas ke tanah, seolah gravitasi bumi menariknya demikian kuat.
“Richard!” jerit Lizbeth.
“Selanjutnya giliranmu,” bisik Nathan di telinga Lizbeth. Refleks Richard menahan kaki kiri Nathan agar tak dapat bergerak.
“Pergi dari sini, Lizbeth.” Napas Richard berkejaran dengan kalimatnya barusan. Nathan lalu mendorong Lizbeth, melumpuhkannya sebelum langkah pertama. Lizbeth hanya bisa beringsut mundur, tak kuasa berdiri. Gurat wajahnya mengumandangkan ketakutan yang luar biasa.
“Lepaskan aku!” bentak Nathan pada Richard. Sementara itu, Lizbeth terus menjauhkan diri dari kakaknya, berusaha menyelamatkan hidupnya yang terancam.
Nathan menghentikan waktu. Membuat seluruh kota kecuali dirinya dan dua orang di dekatnya beku pada sebuah posisi. Angin berhenti bertiup dan dedaunan yang diterbangkannya melayang di udara, seakan segan jatuh ke bumi.
“Apa yang terjadi padamu?” balas Richard dengan suara bergetar. Ekspresi wajahnya takjub sekaligus marah. Nathan mendelik tajam tepat pada korneanya dan tiba-tiba saja Richard melepaskan tangannya dari kaki Nathan bagaikan tersengat arus listrik.
Richard benar saat menyebut Nathan yang ada di hadapannya bukanlah Nathan yang ia kenal dahulu. Mungkin sebaiknya aku ceritakan pertemuan Nathan dengan wanita itu. Juga perjanjian yang mengubah seluruh hidupnya.
#####
Sudah lebih dari satu dekade aku mengabdi pada Quella, perempuan licik yang aku yakin tidak sendirian menghitamkan kota ini. Selama itu pula sudah puluhan bahkan mungkin ratusan nyawa kami kumpulkan. Ia kumpulkan, sebenarnya. Aku tidak pernah mendapatkan apapun. Hanya sedikit orang yang mengenalnya. Begitu lebih baik sebab aku tak ingin ia menghancurkan Athalone semakin jauh.
Quella bukanlah ahli sihir atau sejenisnya. Ia hanya manusia biasa yang memanfaatkan kelalaian manusia lainnya sebagai pemuas hidup. Aku pun demikian. Hanya alat yang ia pergunakan untuk mencapai ambisi gelapnya: menaklukkan Athalone, mengubah tiap jengkal kota ini sebagai taman bermainnya.
“Apa yang bisa kuperbuat untukmu?” tanya Quella pada seorang laki-laki waktu itu. Aku mengetahui nama lelaki itu setelah enam jam bersamanya. Nathaniel Prestoner.
Ia tidak menjawab. Aku bisa melihat putus asa mengelilingi atmosfernya. Memang seperti itulah raut setiap orang yang datang pada Quella. Manusia-manusia yang hampir hilang tujuan hidupnya.
“Aku butuh… kekuatan,” jawab si anak pelan. Jawaban semacam itu sudah berkali-kali kudengar. Kekuatan, kejayaan, kekayaan, kehormatan, kenikmatan… permintaan mereka takkan jauh dari hal-hal duniawi. “Berapa harganya?”
“Separuh nyawamu,” kata Quella santai. Sejak dulu itulah bayarannya. Tak pernah lebih, tak pernah kurang.
“Apa? Maksudmu umurku akan lebih pendek dari yang seharusnya?” ucap lelaki itu. Nadanya terdengar panik, seolah maut sedang mengejarnya. Tidak tahukah ia bahwa tak ada seorangpun termasuk dirinya sendiri yang mampu meramalkan usia seseorang?
“Separuh nyawamu, bukan separuh usiamu. Percayalah padaku, tidak akan ada bedanya.” Itulah kalimat andalan Quella. Belum pernah ada penolakan setelah kata-kata manis itu terucap.
“Baiklah. Bagaimana aku memberinya?”
Kemudian Quella tersenyum tipis ke arah remaja laki-laki itu. Tidak, ia tidak cantik saat tersenyum. Sama sekali tidak. Ruangan sempit yang lebih mirip tempat praktek penganut ilmu hitam itu bahkan menambah kengerian di wajahnya.
“Berikan tanganmu,” lafalnya lembut.
#####
Nathan membalikkan tubuhnya. “Kenapa sulit sekali memusnahkanmu?” Nada bicara Nathan keras saat mengatakan itu, ditujukannya bagi Lizbeth. “Kali ini aku pastikan kau mati. Di bawah kakiku!”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Lizbeth, ia tak kuasa mengucapkan sepatah katapun. Nathan berjalan cepat ke arahnya. Aku tidak tahu dengan cara apa ia akan membunuh adiknya. Yang jelas dominasiku dalam dirinya telah membutakan nurani dan mata hati hingga ia tega berbuat sekeji itu. Hebatnya semua ini hanya berawal dari setitik dengki.
“Nathan!” Richard berteriak keras, berusaha menghentikan langkah kaki Nathan yang terus mendekati Lizbeth. Aku tak menyangka tubuhnya yang lemah masih sanggup berdiri. Ia bahkan hampir menyentuh pundak Nathan kalau saja tak tersentak kuat saat lelaki itu membalikkan tubuhnya. Seakan disibak angin puting beliung, Richard terlempar begitu jauh ke belakang. Punggungnya menabrak batang pohon yang menjadi saksi bisu perhelatan mereka. Pasti sangat menyakitkan. Lizbeth sampai memejamkan matanya dengan cepat saat itu terjadi, tak sanggup menyaksikan perih yang menjalari tubuh Richard.
Dari riak muka Richard aku tahu tubuhnya hampir remuk. Kenyataan itu memaksa Lizbeth untuk berhenti bergerak, meluangkan waktu yang sebenarnya tidak berjalan. Ia hanya takut tak memiliki detik lain untuk memastikan keselamatan jiwa Richard. Itu yang membuatnya bergeming.
Belum puas Nathan melihat Richard kesakitan, tangannya terapung ke udara, kemudian mencengkeram kehampaan di hadapannya. Tanpa disentuh Richard mengerang nyaring, meronta-ronta di bawah tumbuhan itu seolah tubuhnya sedang dikuliti.
“Berhenti, berhenti!” jerit Lizbeth di dalam isak. Air mata meleleh di pipinya, berjatuhan membasahi tanah.
Nathan tertawa mendengar mereka. Erangan kesakitan, jeritan ketakutan… mungkin baginya perpaduan semua itu lebih indah dari alunan musik manapun. Setelah ia puas menyiksa Richard, tubuhnya kembali menghadap pada adiknya. Air mata gadis itu telah mengering, namun raut ketakutan di wajahnya belum surut.
Perlahan ia mendekatkan dirinya pada Lizbeth. Pelan sekali, seakan memainkan emosi sang adik. Lizbeth masih mencoba melangkah mundur walaupun ia tahu itu sia-sia.
“Liz… beth…,” desah Richard pelan. Nyawaku pasti sudah tak ada lagi dalam raga bila jadi dirinya. Sungguh mengesankan melihatnya berusaha mati-matian melindungi Lizbeth.
“Selamat tinggal adik kecil.” Kini Nathan hanya berjarak satu meter di depan Lizbeth. Ia mengangkat tangannya ke udara, bersiap mendengar dentingan merdu lainnya. Lizbeth melihat ke arah lain dan kelopak matanya ia paksa menutup. Hanya rasa takut teramat sangat yang tersisa di wajahnya.
Baru saja Nathan akan menggerakan jarinya dan mengulang apa yang ia lakukan pada Richard, tubuhnya hilang keseimbangan dan jatuh berdebum mencium kaki Lizbeth. Nyawanya habis. Akhirnya.
Nathan menyerahkan separuh nyawanya pada Quella, namun tak diberi tahu tentang ini. Tentang kemungkinan yang terjadi bila terlalu sering mempergunakanku. Memang inilah tujuan Quella dari awal: memiliki seluruh nyawanya secara utuh, bukan hanya sebagian.
“Kakak!” Lizbeth yang merasa kakinya tersentuh lembut langsung membuka mata dan panik setengah mati mendapati kakaknya tergeletak hampir lenyap.
“Aku bukan kakakmu…,” ucap Nathan lirih dengan sisa tenaganya, memandang iris mata Lizbeth yang kehijauan. “Apa kau tidak tahu aku hanya anak adopsi?”
Lizbeth diam seribu bahasa.
“Kau lahir setahun setelah aku diadopsi. Karena itulah Papa dan Mama lebih menyayangimu.” Nathan kemudian tertawa kecil, merasa bodoh di hadapan adik perempuannya. Adik yang hampir saja ia bunuh.
“Kakak salah. Kakak salah!” seru Lizbeth. Air matanya yang tadi telah mengering kembali berjatuhan. “Mereka menyayangi Kakak… sama seperti aku. Nama Kakak sama dengan nama Papa, kan? Itu bukti cinta mereka.”
“Omong kosong….” Nathan tersenyum kecut. Mimiknya tampak mendung, seolah menyesal telah memilihku sebagai tujuan hidupnya.
“Apa Papa dan Mama pernah menyakiti Kakak? Aku tak pernah melihat mereka melakukan itu.” Lizbeth tak henti-hentinya berucap, mengajak Nathan bicara, menunda kepergian kakaknya itu.
“Tidak. Memang tidak. Aku hanya iri padamu. Aku iri karena kau memiliki orang tua sedangkan aku tidak.”
“Bicara apa Kakak? Papa dan Mama orang tua kita!” Nada bicara Lizbeth yang biasanya lembut kini berubah keras.
Nathan memejamkan matanya sesaat kemudian membukanya kembali dan berkata, “Semenjak pertama kali aku diadopsi oleh mereka… Kakek dan Nenek tak pernah menganggapku ada. Semakin parah saat kau lahir. Keluarga besar menyayangimu, tetapi tidak mengakui aku sebagai kakakmu. Kau tahu seberapa sakitnya itu?” Intonasinya melemah, mengisyaratkan kematian yang kian mendekat.
Air semakin deras menghiliri pipi Lizbeth. Ia membenamkan wajahnya pada dada Nathan dan mendekapnya kuat, membuat air mata merembes mengenai permukaan kulit sang kakak. “Aku… minta maaf,” gumamnya tak jelas di tengah isak. Percuma saja, Lizbeth. Kakakmu akan segera musnah dari dunia ini. Seluruhnya, bukan hanya raganya.
“Su… dahlah… Lizbeth….” Lirih bercampur pedih terdengar jelas dalam intonasi kalimat barusan. Richard yang mengucapkannya.
“Maafkan aku. Aku gelap mata. Jaga Lizbeth baik-baik, Richard.” Itu kalimat terakhir yang keluar dari bibirnya. Segera setelah nyawanya benar-benar habis, waktu kembali berjalan. Daun-daun kering yang sempat tertunda kepulangannya dengan gembira membelai bumi. Tubuh Nathan lenyap bak pasir tertiup angin, bersamaan dengan menghilangnya segala kenangan dan ingatan tentang dia. Punah dari memori setiap manusia yang pernah mengenalnya. Nathaniel Prestoner tidak pernah ada.
***
Quella berjalan mantap ke arahku, memungutku dari tanah dengan ekspresi puas yang sama dengan sebelum-sebelumnya. Satu lagi nyawa yang ia dapatkan.
“Kerja bagus, Kalcaros.” Ia tersenyum kemudian memasukkan tubuhku ke dalam kantung jaketnya. Sampai detik ini aku tidak tahu apa tujuannya mengumpulkan nyawa-nyawa itu. Bisa jadi ada hubungannya dengan ambisi untuk menguasai Athalone, atau mungkin tidak. Hanya satu yang aku tahu pasti: perbuatan jahat mengurangi nyawa manusia.
Mungkin sebenarnya bukan aku yang melahap habis seluruh nyawa mereka. Perasaan dan emosi manusia yang senantiasa teraduk-aduk dan tak pernah stabil itulah yang menjatuhkan mereka ke dalam jurang kesesatan. Rasa haus yang takkan pernah bisa terpuaskan atau dendam yang tiada berujung mungkin jauh lebih berbahaya dari dominasiku dalam jiwa mereka. Satu perbuatan buruk akan menarik pada perbuatan-perbuatan buruk berikutnya. Semakin lama semakin busuk, layaknya Nathan yang kehilangan kasih dan berniat membunuh adiknya.
Sudahlah, manusia memang begitu. Baik Quella si pengumpul nyawa maupun Nathan si pendengki, keduanya hanya melakukan apa yang menurut mereka benar dan apa yang mereka inginkan. Bukan apa yang sebenarnya baik dan benar.
Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. [ ]


0 Comment:

Posting Komentar

NO HARSH WORDS
please, don't SPAM here!
I'll reply if I didn't busy -.-