23 Maret 2012

Twins Tears

 


Aku tak tahu apa salahku? Yang jelas, kedua orangtuaku tak memperhatikanku dan slalu menyuruhku agar dapat menyenangkan hati adikku. Yap, adikku sekaligus musuhku di rumah ini.
“Na… Kamu ngapain, sih? Temani adikmu sana! Dia mau kamu temenin main.” Teriak mama yang sibuk dengan kebunnya.
Aku langsung menarik nafas panjang. Ah.. padahal aku mau istirahat dan nonton sinetron kesayanganku hari ini. terpaksa aku menemani adikku yang manja itu.
“Kak, aku mau minum susu,” perintahnya kepadaku dengan wajah memelas. Ia sangat senang bermain denganku. Yah, walaupun aku tak sepenuhnya menemaninya. Kadang aku tak menghiraukannya dan membiarkannya main sendirian.
“Hah.. kamu bawel banget, sih?!” tak selang lama setelah kubicara, handphone ku bunyi. Ternyata teman-temanku ngajak jalan bareng.
“Minta sama mama saja sana! Aku mau jalan sama temen aku!” ujarku langsung beranjak dari hadapannya.
Jalan-jalan memang hobiku. Sayang, waktuku untuk jalan-jalan selalu dikuras habis oleh adikku hanya untuk menemaninya bermain permainan konyol itu.
Aku bingung terhadap kedua orangtuaku yang tak mau menyekolahkannya ke Playgroup atau sejenisnya. Alasannya, hanya karena adikku tidak mau pisah sama aku. Dan terpaksa, aku sekolah di rumah bersama dengannya. Kadang bahkan sering aku bosan belajar di rumah dengan hanya seorang guru.
Aku tak tahu, kenapa mereka begitu memperhatikan adikku dibanding aku. Mungkin karena adikku cacat. Ia hanya mempunyai satu tangan . Dan perkiraanku, itu yang membuat orangtuaku begitu peduli dengannya.
Aku menghabiskan waktu yang lama untuk perjalananku hari ini. aku dan teman-temanku shopping di mall. Aku tak menghiraukan seberapa lama aku menghabiskan uang dan waktuku. Karena ini kesempatanku untuk bebas dari adikku.
“Luna… Kita ke salon, yuk!” Viza, temanku yang sangat mementingkan fashion itu selalu mencari ikesempatan untuk menguras uangku.
“Apa-apaan, sih, Za! Ini sudah malam. Kita harus pulang!!!” Perintah Lifa. Satu-satunya temanku yang punya perasaan. Dia merupakan penasihat diantara kami semua.
“Jangan dulu! Lebih baik kita ngisi perut. Aku sudah lapar!!” Satu lagi orang yang tak memperhatikan temannya. Moy, orang yang paling gemuk diantara kami. Ia hanya mementingkan perutnya.
“Udahlah! Mending kita jalan-jalan ke distro dulu.” Usulku yang sangat suka shopping.
“Ah, gak asyik semuanya!Udah, mending ke rumahku. Kita nonton film. Aku baru beli film fantasi kemarin. Seru, lho!! Magicnya hebat, cuy!” Ini dia, Xey. Satu-satunya cowok yang berteman dengan kami. Sangat suka sama yang namanya magic. Dan sekarang dia sekolah sulap.
Memang kami semua mempunyai perbedaan yang sangat besar dan jauh. Namun, kami sudah lama berteman. Sejak aku pindah rumah, aku jadi banyak memperoleh teman di komplek tempat aku tinggal.
“Aku bilang, kita harus PULANG..!!! Ini sudah malam! Nanti orangtuaku kita nyariin.” Teriak Lifa kesal dengan kami.
“Ah, gak mungkin lah orangtuaku cariin aku.” Ujarku pasti. Tak selang lama setelah aku mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba papa nelpon.
“Hallo, kenapa, Pa?”
“Kamu kemana aja?! Cepat pulang! Adikmu butuh kamu!” Aku langsung menutup pembicaraan itu. Aku sudah menebak , jika mereka cariin aku , pasti karena adikku yang minta. Kenapa, sih, selalu aku yang disuruh?
“Kenapa, Lun?” tanya Lifa
“Gak. Biasalah, gak penting!”  sahutku kecut.
“Oh, ya sudah! Kita pulang sekarang!” Perintah Lifa lagi.
“Gak, Lif! Aku gak mau..!” Bentakku.
“Kamu kenapa, sih?! Ya sudah, TERSERAH! Aku saja yang pulang.” Lifa marah dan langsung pergi. Kami yang tersisa saling tatap. Akhirnya, kami memutuskan untuk pergi sendiri-sendiri. Aku yang tidak mau pulang, pergi ketempat yang semula kuinginkan, distro. Tak jauh dari mall itu, tepatnya di seberang jalan, ada sebauh disto favoritku. Aku segera menyeberang jalan raya yang ramai itu tanpa memperdulikan sekitarku. Ketika ditengah jalan, tak sengaja tasku tersangkut di spion sepeda motor seseorang. Aku berusaha melepaskannya. Tapi, sepeda motor itu tetap berjalan. Dan, tepat di depanku, ada sebuah mobil yang melaju cepat. BRUKKK…( deg..deg.. deg..)

Pandanganku masih remang-remang. Ternyata aku sudah ada di rumah sakit. Aku di dorong menuju ruang UGD. Kulihat tubuhku berlumuran darah.
Sesampainya di ruang UGD, aku melihat seorang pasien perempuan di sampingku. Ups, itu kan Leny, adikku. Apa aku tak salah lihat? Atau ini efek dari benturan di kepalaku? … Adu-uh.. SAKIT
Ternyata aku pingsan lagi. Dan sekarang aku sudah berada di ruang inap. Kulihat ayah dan ibuku sudah berada di sampingku. Mereka kelihatan menangis. Apa mereka menangisiku? Apakah sekarang mereka mengkhawatirkanku?
“Mah… Pah…” ucapku lemah.
“Luna….” Mamah masih menangis. Matanya kelihatan bengkak.
“Adikmu, Lun… Adikmu sedang kritis.” Ucapnya lagi.
Hah… Jadi mamah dan papah bukan menangisiku?! Tapi menangisi Leny!
“Kalian kenapa, sih?! Kenapa selalu Leny yang diperhatikan?! Kalian tidak pernah mengkhawatirkanku. Apa aku bukan anak kalian?” Bentakku sudah tidak dapat lagi menahan emosi yang supersulit itu.
“Astaghfirullah, Lun! Tidak seharusnya kau meremehkan adikmu! Dia patut dikasihani. Apalagi KAU! Kau seharusnya menyayanginya. Karena dia saudara kembarmu!” ujar mamah keras.
Aku langsung terkejut. Leny saudara kembarku??  Gak mungkin!  Secara, badanku lebih tinggi dan besar darinya. Selain itu, pikirannya masih kayak anak TK. Padahal aku sudah SMP.
“Ketika kalian lahir, ternyata kalian kembar siam. Dan anggota tubuh kalian bersatu. Mau-tak mua, kalian harus dioperasi untuk memisahkannya. Ketika dioperasi, detak jantungmu melemah. Operasi pun dipercepat. Gara-gara operasi itu, dokter memutuskan untuk memberikan tangan kiri kalian yang cuma satu itu kepadamu. Leny pun harus rela jadi cacat. Setelah kalian berumur 3 tahun, kami baru menyadari kalau pertumbuan Leny lebih lambat dari kamu. Dan ternyata, Leny mengalami pertumbuhan lambat itu Karena efek dari operasi itu.” Jelas papah tersedu-sedu.
“Leny rela tak mempunyai tangan hanya untuk menyelamatkanmu. Agar kamu selamat dari operasi itu. dan akibatnya, pertumbuhannya jadi lambat! Seharusnya, kamu berterima kasih dan menyayanginya.
Air mataku menetes. Hatiku terasa teriris-iris. Aku sangat menyesal. Ya Tuhan! Ternyata Leny saudara kembarku. Leny, maafkan aku! Mengapa selama ini, aku tak merasakan ikatan batin seperti yang dirasakan saudara kembar lainnya. Apakah hatiku ini terlalu keras? Aku harus menebus kesalahanku pada Leny. Aku segera pergi menuju ruang inap Leny.
Setibanya di sana, apa yang kulihat? Detak jantung Leny semakin melemah. Kata dokter, Leny harus segera mendapatkan donor ginjal. Tanpa menunggu lama, aku segera bersedia menjadi pendonor. Aku ingin menebus kesalahanku pada Leny, sebelum tak ada waktu untukku menebusnya. Akhirnya, operasi pun dilakukan.
DEG…..  DEG….  DEG…..
Tiba-tiba, aku sudah berada di sebuah tempat yang sangat terang. Hanya ada aku dan….Leny? Hah.. dimana kami?
“Kakak.. terima kasih, Ka!” ujar Leny tersenyum.
“Kamu… Leny?” Aku seolah tak percaya dengan semua ini.
“Iya, Ka. Aku Leny. Saudara kembar kakak.” Sahutnya.
“Di mana kita?”
“Kita berada di alam yang berbeda dengan mamah dan papah.  Kak, terima kasih kakak telah mau menemaniku di sini.” Ucapnya.
“Apa?!! Maksudmu kita sudah meninggal?!” tanyaku gemetaran.
“Iya, Kak”
Aku diam tanpa kata. Hanya hatiku yang berkata. Akhirnya aku bisa menebus kesalahanku dengan menemaninya di sini. Yang tersisa hanyalah airmata Mamah dan Papah di alam sana.
Kami lahir bersama. Bahkan, kami pergi dari dunia ini pun bersama.
This entry was posted in

4 komentar:

NO HARSH WORDS
please, don't SPAM here!
I'll reply if I didn't busy -.-