CHAPTER 1
Lihat biografi para tokoh di sini
Gelap,
kalut... yang kubisa hanya menunggu kehadiran sang Fajar.
Mataku
yang dua jam lalu terpejam akhirnya kembali terbuka. Wooahhmm..
Ternyata
secercah cahaya dari langit yang membangunkannya. Hari yang cukup cerah untuk
pagi ini. Udara segar pun mulai terhirup dari respirasiku.
Well,
namaku Lillia Naya. Ya, aku keturunan dari keluarga Naya dan satu-satunya
penerus perusahaan Sport Internasional sekaligus pewaris 42.575 dollar
per-minggu dari hasil 18 buku best-seller
papaku.
Tak ada yang spesial dariku bahkan
keberuntungan pun sangat jarang menyentuh punggungku.
Siapa aku? Aku pun bahkan tidak mengenalnya. Papa
dan mama tidak pernah sekalipun membelai foto-fotoku, meski beribu-ribu fotoku
dipajang di kamar mereka. Ah, tidak.. satu fotoku pun tidak pernah mereka
pajang di wilayah rumah sebesar ini.
Selama mata memandang, di rumah ini hanya ada
foto anak kecil itu. Bocah laki-laki dengan dot bayi di tangannya. Seiring
bertambahnya usia, pertanyaanku tentang bocah itupun semakin banyak. Papa dan mama
sangat antusias jika aku menanyakan ‘siapa bocah itu?’
Mulut mereka seolah sedang curhat denganku.
Mereka bilang, bocah itu anak mereka. Jawaban mereka saja sudah membuatku
merasa tidak dianggap. Jika aku memang anak mereka, seharusnya mereka memperbaiki
jawaban itu, seperti misal ‘bocah itu saudaramu’, atau ‘bocah itu kakakmu’,
atau jika memang dia lebih muda ‘bocah itu adikmu’.
Lalu, ekspresi mereka pun berubah saat aku
menanyakan pertanyaan selanjutnya,
‘di mana dia sekarang?’.
Tetesan air mata muncul dari kedua mata mama,
sementara kening papa terlihat mengkerut. Dengan sedikit terisak, mama
menceritakan bahwa bocah itu telah diadopsi oleh pekerja sosial dari
pemerintahan saat usianya baru menginjak 3 tahun. Saat itu, keluarga Naya
sedang dilanda krisis keuangan hingga bocah bayi itu terlantar kelaparan. 16
tahun yang lalu, bayi itu telah diadopsi oleh keluarga kaya dari California.
Sejak saat itu, papa dan mama bekerja keras
banting tulang untuk memperbaiki keuangan. Lalu, mereka berencana untuk
memiliki anak laki-laki lagi sebagai penglipur lara sekaligus pengganti bocah
itu. Namun, harapan itu sirna ketika aku lahir. Ya, aku anak perempuan yang tak
diharap.
Ah, memang tidak ada yang istimewa dariku,
bahkan ketika aku lahir...
Pagi ini terasa sangat hangat. Kakiku saja
tidak menginginkan aku beranjak dari kursi empuk ini. Semilir angin menerpa
rambut pirangku, mencoba membantuku bangkit dari kekalutan.
“Assalamualaikum.. Pah, Mah..”
Tiba-tiba saja, sebuah teriakan bersama
dengan suara angin remang-remang terdengar dari telingaku. Aku mencoba
berpaling, mengarahkan pandanganku ke arah suara teriakan yang berasal dari
pintu gerbang.
Seorang laki-laki berkacamata yang kira-kira
lebih tua dariku tiba-tiba menerobos masuk dari pintu gerbang.
“Hei, heii.... tunggu!” Aku pun beranjak dari
tempatku, mencoba mengejar orang aneh itu.
“Heiii.........! “ Aku berteriak sebisaku,
namun dia tetap meneruskan langkah kakinya ke arah pintu rumah.
Aku berlari mengeluarkan separuh tenagaku untuk mencegatnya. Dan akhirnya aku berhasil. Orang aneh ini belum tahu kalau ‘Lillia seorang atlet lari marathon terbaik di sekolahnya’.
“Hei, siapa kau? Pengantar koran atau tukang post? Eh, tunggu.. tapi mengapa tidak pakai seragam? Oh, mungkin kau seorang babysitter. Tapi di rumah ini tidak ada balita. Jadi, siapa kau?”
Baru kali ini aku menghadapi tamu yang tidak mempunyai sopan santun. Biasanya, tamu papa dan mama sangat sopan ketika masuk. Mereka bahkan tidak berani membuka gerbang sebelum papa atau mama sendiri yang menyambut mereka. Teman-temanku yang berkunjung ke rumah pun memiliki etika seperti itu.
Lalu, masalah apa yang dimiliki tamu tidak punya sopan santun ini?
“Kau siapa? Ini rumah keluarga Naya, kan?” orang itu balik nanya. Ya ampun, apakah otaknya sedang direhabilitasi.
“Iya. Ini memang rumah keluarga Naya. Dan aku... aku adalah putri mereka.” Sahutku ketus.
“Siapa? Putri? Jadi, sekarang keluarga Naya telah mempunyai seorang anak perempuan. Ah, berarti aku telah mempunyai adik.” Seru orang itu.
Argghh.. orang ini memang keterlaluan. Aku yang terlebih dulu bertanya ‘siapa’ malah aku yang tidak tau dia.
“Jika memang Papa dan Mama belum memperkenalkanku kepada adikku ini, maka izinkanlah aku sendiri yang memperkenalkan diri. Namaku..................”
Perkataan orang itu segera kuputus karena.. aku.. aku belum bisa menerima kenyataan ini. Kakak? Berarti bocah di foto itu? Jadi, anak kesayangan itu telah kembali ???
“Oh, maaf... maaf...! Saya rasa Anda salah alamat. Mungkin keluarga yang Anda maksud bukan keluarga Naya ini. Maybe, Naya yang lain. Jadi, saya persilakan Anda untuk keluar lewat pintu gerbang itu.” Gertakku dengan halus.
Orang itu tidak mengindahkan perintahku. Ia malah berteriak dengan kencang sambil mengetuk-ketuk pintu.
“Maa... Paa... Ini aku Fandu.”
Daripada teriakan orang ini semakin bertambah keras, aku pun memutuskan untuk menemui Papa, menceritakan apa yang telah terjadi, dan memastikan bahwa tamu itu bukanlah bocah 19 tahun lalu.
Aku mencoba mencari Papa di sekeliling rumah.
Setelah menemukannya, mulutku pun berbicara.
“Pa.. ada tamu aneh di luar Dia bilang, dia
anak kalian. Namanya Fandu. Ah, dia sangat pintar bersandiwara.. Mana mungkin dia
mengaku sebagai bocah foto itu. Ya kan, Pa?” Ujarku mencoba mempraktekkan
bahasa persuasif yang aku pelajari dari sekolah online.
Sesuai dugaan, Papa tiba-tiba menembakiku
dengan beribu pertanyaan.
“Siapa, Li? Fandu! Fandu Naya? Fandu 16 tahun
silam? Di mana, Fandu? Di mana dia, Li?”
Aku hanya bisa mengarahkan telunjukku ke arah
pintu depan. Papa segera berlari untuk menemui bocah itu. Aku berdehem
sebentar, menghela nafasku agar semua tidak terlalu cepat mengubah hidupku yang
flat. Kemudian, aku pun mengikuti
langkah papa.
Sesampainya di depan pintu rumah, aku tidak
menemukan siapa-siapa lagi di sana. Papa komplain denganku. Oh tidak, aku lupa
mengunci pintu sebelum mencari papa.
Fandu.... Apa kau memang Kakakku?
#
Di sisi lain..
Pintu depan kutinggalkan dalam keadaan tidak
terkunci. Dan itulah yang membuat Fandu, oh mungkin sekarang aku bisa memanggil
bocah itu dengan sebutan Kak Fandu. Ya, pintu dan kecerobohanku itu membuatnya
leluasa masuk ke rumah besar tanpa satpam itu.
Siapa dia? Seenaknya masuk ke rumah orang.
Bahkan, orangtuaku saja belum memverifikasi bahwa dia anak mereka. Tapi,
begitukah perilaku anak yang 16 tahun silam hidup jauh dari orangtua
kandungnya? Sebegitukah anehnya?
Setelah berkeliling dalam rumahku, akhirnya
Kak Fandu berhasil menemukan kamar Mama. Dan dia berhasil membangunkan Mama
dengan hanya mengatakan,
“Mamah... Ini Fandu.”
Mama pun segera bangkit dari tempat tidurnya.
Dia mengucek matanya sebentar, lantas memeluk anak itu.
“Fandu, anak sulungku... Kau benar-benar
telah kembali, Fan?” Tanya mama terisak-isak. Sementara, bulir-bulir air mata
berjatuhan dari kedua matanya.
“Iya, Ma. Fandu kembali untuk kalian. Fandu
berusaha kembali demi kalian agar kalian tidak terus menangis di hadapan
pekerja sosial pemerintahan yang menjemputku 16 tahun silam. Karena itu...
itu... itu pasti sangat mengiris batin kalian. Fandu tidak ingin batin kalian
semakin terluka. Ini Fandu, Ma...”
Oh, pertemuan ini memang sangat berharga bagi
mereka. Tapi bagaimana denganku? Meski aku senang Kak Fandu telah kembali, tapi
masih ada banyak pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Dan itu abstrak sekali.
Jadi, bagaimana denganku? Apa Papa dan Mama akan menganggapku sebagai
anak mereka setelah kembalinya Kak Fandu? Aku akan menerima apa pun jawabannya,
meski mungkin aku hanya dianggap anak bungsu biasa, bukan anak sulung kesayangan.
#
Matahari
dan bulan masih melakukan pekerjaannya dengan disiplin. Dan aku masih setia
menghirup udara dini hari di atas kursi empuk samping teleskop. Ya, semua
rutinitasku masih sama. Yang beda hanyalah keadaan batinku yang sekarang lebih
membaik.
Ternyata kedatangan Kak Fandu memang sebuah
keajaiban. Ia berhasil membuat Papa dan Mama menyayangiku layaknya seorang anak.
Mungkin Papa dan Mama sekarang merasa hidup mereka sudah lengkap dengan
kehadiran Kak Fandu sebagai kakakku. Dan aku pun merasa begitu.
Aku menyesal telah membentak Kak Fandu saat
pertama kali ia menginjakkan kaki di rumah ini. Padahal, langkah pertamanya
itulah yang membuat hidupku sekarang menjadi lebih baik. Kata ‘Maaf’ memang
belum begitu mewakili perasaan bersalahku, tapi hanya itu yang dapat kulakukan.
“Aku.. Aku mungkin pernah membentak kakak.
Tapi karena saat itu aku sedang badmood,
sementara seseorang yang belum pernah kukenal masuk tanpa izin ke dalam rumah.
Bukankah itu hal biasa? Jadi, karena sekarang aku tahu bahwa kau kakakku,
maukah kau memaafkanku, kak?”
Pintaku sepenuh hati.
Kak Fandu bangkit dari kursinya. Ia
mengajakku bicara.
“Ya, kau betul sekali. Itu hal biasa layaknya
seseorang yang belum pernah saling kenal. Dan sekarang, karena aku kakakmu,
jadi mana mungkin aku tidak memaafkannya. Anggap saja itu sebuah rude introduce
dariku. Hehe.”
“Jadi, kau memaafkanku?” tanyaku bersemangat. Ah, aku belum pernah merasakan
ini. Perasaanku benar-benar bahagia. Punya papa, mama dan sekarang aku punya
kakak. Keluarga ini benar-benar sudah lengkap begitu pun hidupku.
Aku tidak sabar menjalaninya...
#
BERSAMBUNG..................!